Jejak Panjang Seni Lukis Modern Indonesia part.1
Jejak panjang seni lukis modern Indonesia dirintis oleh Raden Saleh, lantas tumbuh dan berkembang sejak era naturalisme-realis Mooi Indie hingga kembalinya gejala Realisme Romantik abad 21.
BERBURU Banteng. Itulah judul salah satu lukisan legendaris hasil karya Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880), pelukis pribumi Indonesia yang disebut-sebut sebagai perintis aliran seni lukis modern (modern art) di tanah air. Seni lukis modern ini berjarak dengan seni lukis tradisional yang telah tumbuh dan berkembang berabad-abad sebelumnya. Punya karakter dan ciri khas sendiri.
Pembentukan gaya seni rupa, pemilihan tema, pemakaian bahan lukisan serta fungsi kegunaannya berbeda dengan seni lukis tradisional. Raden Saleh melukis dengan maksud mengembangkan bakat seni pribadi atau potensi kreatif-artistik individu seniman, dengan wawasannya sebagai manusia budaya baru yang berpandangan universal.
Seni rupa modern tidak lagi memahat patung nenek moyang dan menatah serta menyinggung tokoh-tokoh pewayangan dalam bermacam-macam bentuknya : wayang beber, kulit, golek, krucil. Pendek kata, seni rupa modern Indonesia sama sekali bersifat baru.
Seni lukis modern sesungguhnya dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia pada sekitar abad 17. Hanya saja, perintisan seni lukis modern ini bagi bangsa Indonesia berlangsung ”secara tidak sengaja” atau ”tanpa direncanakan” mengingat terjadinya perintisan di tengah-tengah kegelapan dari zaman penjajahan, sebelum adanya kemerdekaan. Dus, ini tentu saja tidak masuk dalam kesadaran budaya mengimgat Indonesia saat itu masih merupakan bangsa terjajah.
MASA PERINTISAN
Raden Saleh memang perintis seni lukis modern yang kesepian. Lahir dari rahim seorang ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, Raden Saleh sejak kecil telah menampakkan bakat melukis yang kuat. Saat itu dia tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang dan sejak usia 10 tahun, dia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, pada orang-orang Belanda atasannya di Batavia.
Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School). Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.
Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya.
Kebetulan pula di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan lantas berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826) setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda.
Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Penguasaan teknik seni lukis masa akhir Renaissance Eropa yang bercorak realistis-naturalistis dengan jiwa romantis itu dilanjutkan oleh generasi pelukis Indonesia sepeninggal Raden Saleh. Ciri khasnya adalah lebih banyak mengambil tema kehidupan kaum bangsawan dan kehidupan binatang. Kepiawaian teknik, bentuk, karakter, terang gelap dan seterusnya, yang diterapkan dalam karya seni lukis tersebut, menjadi perhatian bagi pelukis-pelukis lain di Indonesia.
Yang menarik, ada masa kekosongan yang cukup lama sejak wafatnya Raden Saleh pada 23 April 1880 di Bogor. Dia memang tak mempunyai murid atau kawan yang mampu meneruskan bakat melukisnya. Yang tertinggal ada hasil karyanya. Diantaranya yang masih utuh adalah lukisan berjudul : Seorang tua dan Bola Dunia (1835), Berburu Banteng (1851), Bupati Majalengka (1852), Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), Harimau Minum (1863) dan Perkelahian dengan Singa (1870).
ERA MOOI INDIE
Baru kemudian pada awal abad ke-20, muncullah sejumlah nama pelukis Indonesia yang dianggap pelanjut Raden Saleh. Masih sedikit jumlahnya, namun terbatas kemampuannya pada pelukisan keindahan alam. Mereka adalah R Abdullah Suriosubroto (1878-1914), Wakidi (1889-1979) dan Raden Mas Pirngadi (1875-1936). Ketiga pelukis itu lazim disebut masuk dalam mazhab Hindia Molek atau Mooi Indie.
BERBURU Banteng. Itulah judul salah satu lukisan legendaris hasil karya Raden Saleh Syarif Bustaman (1807 – 1880), pelukis pribumi Indonesia yang disebut-sebut sebagai perintis aliran seni lukis modern (modern art) di tanah air. Seni lukis modern ini berjarak dengan seni lukis tradisional yang telah tumbuh dan berkembang berabad-abad sebelumnya. Punya karakter dan ciri khas sendiri.
Pembentukan gaya seni rupa, pemilihan tema, pemakaian bahan lukisan serta fungsi kegunaannya berbeda dengan seni lukis tradisional. Raden Saleh melukis dengan maksud mengembangkan bakat seni pribadi atau potensi kreatif-artistik individu seniman, dengan wawasannya sebagai manusia budaya baru yang berpandangan universal.
Seni rupa modern tidak lagi memahat patung nenek moyang dan menatah serta menyinggung tokoh-tokoh pewayangan dalam bermacam-macam bentuknya : wayang beber, kulit, golek, krucil. Pendek kata, seni rupa modern Indonesia sama sekali bersifat baru.
Seni lukis modern sesungguhnya dimulai dengan masuknya penjajahan Belanda di Indonesia pada sekitar abad 17. Hanya saja, perintisan seni lukis modern ini bagi bangsa Indonesia berlangsung ”secara tidak sengaja” atau ”tanpa direncanakan” mengingat terjadinya perintisan di tengah-tengah kegelapan dari zaman penjajahan, sebelum adanya kemerdekaan. Dus, ini tentu saja tidak masuk dalam kesadaran budaya mengimgat Indonesia saat itu masih merupakan bangsa terjajah.
MASA PERINTISAN
Raden Saleh memang perintis seni lukis modern yang kesepian. Lahir dari rahim seorang ibu bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, Raden Saleh sejak kecil telah menampakkan bakat melukis yang kuat. Saat itu dia tinggal di daerah Terbaya, dekat Semarang dan sejak usia 10 tahun, dia diserahkan pamannya, Bupati Semarang, pada orang-orang Belanda atasannya di Batavia.
Kegemaran menggambar mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School). Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-lembaga elite Hindia-Belanda.
Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya.
Kebetulan pula di instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J Payen yang didatangkan dari Belanda untuk membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan lantas berinisiatif memberikan bimbingan.
Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal Van Der Capellen yang memerintah waktu itu (1819-1826) setelah ia melihat karya Raden Saleh.
Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh Jenderal de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda.
Namun, keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan orang Jawa,Bahasa Jawa dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.
Penguasaan teknik seni lukis masa akhir Renaissance Eropa yang bercorak realistis-naturalistis dengan jiwa romantis itu dilanjutkan oleh generasi pelukis Indonesia sepeninggal Raden Saleh. Ciri khasnya adalah lebih banyak mengambil tema kehidupan kaum bangsawan dan kehidupan binatang. Kepiawaian teknik, bentuk, karakter, terang gelap dan seterusnya, yang diterapkan dalam karya seni lukis tersebut, menjadi perhatian bagi pelukis-pelukis lain di Indonesia.
Yang menarik, ada masa kekosongan yang cukup lama sejak wafatnya Raden Saleh pada 23 April 1880 di Bogor. Dia memang tak mempunyai murid atau kawan yang mampu meneruskan bakat melukisnya. Yang tertinggal ada hasil karyanya. Diantaranya yang masih utuh adalah lukisan berjudul : Seorang tua dan Bola Dunia (1835), Berburu Banteng (1851), Bupati Majalengka (1852), Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857), Harimau Minum (1863) dan Perkelahian dengan Singa (1870).
ERA MOOI INDIE
Baru kemudian pada awal abad ke-20, muncullah sejumlah nama pelukis Indonesia yang dianggap pelanjut Raden Saleh. Masih sedikit jumlahnya, namun terbatas kemampuannya pada pelukisan keindahan alam. Mereka adalah R Abdullah Suriosubroto (1878-1914), Wakidi (1889-1979) dan Raden Mas Pirngadi (1875-1936). Ketiga pelukis itu lazim disebut masuk dalam mazhab Hindia Molek atau Mooi Indie.
Tiga pelukis itu hidup berjauhan satu sama lain. Abdullah menetap di Bandung (Jawa Barat), Wakidi di Padang (Sumatera Barat) sedangkan Pirngadi menetap di Jakarta. Mereka berkarya tanpa pernah saling bertemu satu sama lain dan kemungkinan juga tidak banyak mengetahui karya satu sama lainnya. Hanya saja, tema yang dilukis mirip yaitu berupaya menampilkan keindahan alam Indonesia.
Mazhab Hindia Molek (1925-1938) ini tumbuh dan berkembang hingga menjelang kedatangan bala tentara Jepang. Saat itulah sejumlah pelukis pribumi Indonesia sedang belajar di berbagai sekolah, menempa diri dan mulai berkarya secara pribadi. Alirannya sungguh berbeda dari para pelukis era Hindia Belanda. Hanya saja mereka belum menonjol saat itu, atau sibuk dalam pergerakan nasional.
Pelukis R Abdullah Suriosubroto adalah putera Dr Wahidin Sudirohusodo, perintis pergerakan nasional ”Budi Utomo”. Tetapi berlainan dengan ayahnya, Abdullah sama sekali tidak tertarik dengan dunia pergerakan, dia mengambil jalan hidup berbeda. Dia berkesempatan belajar di negeri Belanda mengikuti tujuan ayahnya supaya Abdullah menempuh studi kedokteran, tetapi sesuai kenyataannya Abdullah malah belajar seni lukis di Den Haag.
Dalam melukis pemandangan alam, Abdullah dan Wakidi nampak lebih produktif maupun berkemampuan dibanding dengan Pirngadi yang tersita oleh pekerjaan rutinnya sebagai ilustrator museum antropologi di Jakarta. Abdullah wafat pada 1914, namun pekerjaannya sebagai pelukis aliran realis-naturalis nantinya dilanjutkan oleh puteranya, Basoeki Abdullah (1915-1993).
Wakidi (1889-1979) adalah pelukis berusia panjang. Wakidi yang orang tuanya asal Semarang, namun dia sendiri lahir di Plaju, Sumatera Selatan ini memilih untuk menetap di Sumatera Barat. Dia memperoleh pendidikan di Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) yang berdiri sejak 1837 di Bukittinggi. Di sekolah inilah Wakidi mendalami pelajaran menggambar dan melukis (1903).
Mengingat kemampuan luar biasa yang dimiliki Wakidi di usia mudanya, setamat disana, dia memperoleh tawaran menjadi guru lukis dan menggambar untuk membina dan mengasuh anak-anak pribumi yang menempuh pendidikan di Kweekschool. Diantara murid Wakidi tercatat tokoh proklamator Bung Hatta dan mantan Ketua MPRS Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Tidak hanya di Kweekschool, beberapa tahun kemudian Wakidi ditawari menjadi guru di INS Kayutanam, yang didirikan M. Syafei pada tahun 1926. Di INS Wakidi ternyata juga disukai dan disenangi puluhan bahkan ratusan murid dan pengikut-pengikutnya.
Diantara murid-muridnya terdapat tokoh berkesinambungan yang berkiprah dalam peta seni lukis nasional seperti Baharuddin MS, Syamsul Bahar, Mara Karma, Hasan Basri DT. Tumbijo, Nasjah Jamin, Montingo Busye, Zaini, Nashar, Ipe Makruf, Alimin Tamin, Nuzurlis Koto, Arby Samah, Muslim Saleh, Mukhtar Apin, AA Navis, Mukhtar Jaos, Osmania dan banyak lagi hingga ke tokoh-tokoh muda saat ini.
Adapun Basoeki Abdullah (1915-1993) memang tak pernah melihat wajah sang ayah. Namun setelah dewasa Abdullah yunior ini bertekad melanjutkan garis karya ayahnya. Dia menyelesaikan studinya di sekolah Katolik Solo untuk kemudian melanjutkan pendidikan seni lukisnya di Academic Voor Beldeende Kunsten sebagaimana mendiang ayahnya. Sebagai penganut mazhab Hindia Molek, dia bertindak lebih maju.
Mazhab Hindia Molek (1925-1938) ini tumbuh dan berkembang hingga menjelang kedatangan bala tentara Jepang. Saat itulah sejumlah pelukis pribumi Indonesia sedang belajar di berbagai sekolah, menempa diri dan mulai berkarya secara pribadi. Alirannya sungguh berbeda dari para pelukis era Hindia Belanda. Hanya saja mereka belum menonjol saat itu, atau sibuk dalam pergerakan nasional.
Pelukis R Abdullah Suriosubroto adalah putera Dr Wahidin Sudirohusodo, perintis pergerakan nasional ”Budi Utomo”. Tetapi berlainan dengan ayahnya, Abdullah sama sekali tidak tertarik dengan dunia pergerakan, dia mengambil jalan hidup berbeda. Dia berkesempatan belajar di negeri Belanda mengikuti tujuan ayahnya supaya Abdullah menempuh studi kedokteran, tetapi sesuai kenyataannya Abdullah malah belajar seni lukis di Den Haag.
Dalam melukis pemandangan alam, Abdullah dan Wakidi nampak lebih produktif maupun berkemampuan dibanding dengan Pirngadi yang tersita oleh pekerjaan rutinnya sebagai ilustrator museum antropologi di Jakarta. Abdullah wafat pada 1914, namun pekerjaannya sebagai pelukis aliran realis-naturalis nantinya dilanjutkan oleh puteranya, Basoeki Abdullah (1915-1993).
Wakidi (1889-1979) adalah pelukis berusia panjang. Wakidi yang orang tuanya asal Semarang, namun dia sendiri lahir di Plaju, Sumatera Selatan ini memilih untuk menetap di Sumatera Barat. Dia memperoleh pendidikan di Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru) yang berdiri sejak 1837 di Bukittinggi. Di sekolah inilah Wakidi mendalami pelajaran menggambar dan melukis (1903).
Mengingat kemampuan luar biasa yang dimiliki Wakidi di usia mudanya, setamat disana, dia memperoleh tawaran menjadi guru lukis dan menggambar untuk membina dan mengasuh anak-anak pribumi yang menempuh pendidikan di Kweekschool. Diantara murid Wakidi tercatat tokoh proklamator Bung Hatta dan mantan Ketua MPRS Jenderal Besar Abdul Haris Nasution.
Tidak hanya di Kweekschool, beberapa tahun kemudian Wakidi ditawari menjadi guru di INS Kayutanam, yang didirikan M. Syafei pada tahun 1926. Di INS Wakidi ternyata juga disukai dan disenangi puluhan bahkan ratusan murid dan pengikut-pengikutnya.
Diantara murid-muridnya terdapat tokoh berkesinambungan yang berkiprah dalam peta seni lukis nasional seperti Baharuddin MS, Syamsul Bahar, Mara Karma, Hasan Basri DT. Tumbijo, Nasjah Jamin, Montingo Busye, Zaini, Nashar, Ipe Makruf, Alimin Tamin, Nuzurlis Koto, Arby Samah, Muslim Saleh, Mukhtar Apin, AA Navis, Mukhtar Jaos, Osmania dan banyak lagi hingga ke tokoh-tokoh muda saat ini.
Adapun Basoeki Abdullah (1915-1993) memang tak pernah melihat wajah sang ayah. Namun setelah dewasa Abdullah yunior ini bertekad melanjutkan garis karya ayahnya. Dia menyelesaikan studinya di sekolah Katolik Solo untuk kemudian melanjutkan pendidikan seni lukisnya di Academic Voor Beldeende Kunsten sebagaimana mendiang ayahnya. Sebagai penganut mazhab Hindia Molek, dia bertindak lebih maju.
Basoeki Abdullah rajin menggelar pameran lukisan di berbagai kota besar di Jawa dengan menampilkan karya-karya potret, pemandangan alam dan lukisan binatang. Jadi, dia pelukis pertama sesudah Raden Saleh yang mampu melukis manusia. Tampak diantara model lukisan potretnya adalah Gusti Nurul dari Istana Mangkunegaran, Surakarta dan Sri Paku Alam dari Yogyakarta.
Selain Basoeki Abdullah, para pelukis lain yang masih meneruskan gaya realisme adalah R.M. Surjo Subanto yang juga berkesempatan belajar di negeri Belanda dengan beberapa karyanya, seperti potret ”Wanita dalam Baju Kurung” dan “Gadis Bermain Gitar”. Ada pula nama-nama seperti Lee Man Fong, Soedarso, S Sudjojono, Affandi Koesoema dan Rustamdji. Para pelukis ini juga merupakan bagian salah satu dari gabungan dalam sanggar-sanggar seni lukis Indonesia, seperti ada yang tergabung dalam sanggar Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia 1938-1942), Poetera (Poesat Tenaga Rakyat), SIM (Seniman Indonesia Muda), dan sebagainya.
Hanya saja, dengan muncul dan berkembangnya beberapa sanggar seni lukis di Indonesia, maka tema-temanya pun mengalami perkembangan -- tidak lagi terbatas pada keindahan alam, binatang dan potret manusia saja. Mulailah muncul lukisan yang bersifat kritis-realis yang melukiskan soal-soal kehidupan dan penderitaan rakyat sehari-hari seperti kehidupan orang cacat, orang miskin, pengamen, kaum buruh, hingga petani.
ERA PERSAGI
Zaman pergerakan yang ditandai dengan terselenggaranya Sumpah Pemuda 1928, dan pecahnya Perang Asia Timur dengan Jepang sebagai pemenangnya mempengaruhi geliat seni lukis di tanah air. Mazhab Mooi Indie lantas dikecam dan dikritik habis, dianggap hanya mengabadikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan di sekitarnya yang tidak semuanya indah, serba enak, tenang dan damai.
Di sisi lain, pengembangan pada teknik melukis sangat diperhatikan pada masa itu, sehingga seni lukis realisme Indonesia makin memiliki identitas pribadi. Paska Sumpah Pemuda, terjadilah polemik kebudayaan yang riuh rendah dalam media massa. Terutama pada kurun waktu 1935-1939. Para pelukis tidak mau ketinggalan dan ikut ambil bagian. Tokoh-tokoh semacam Lee Man Fong, Ui Tiang Un, Henk Ngantung, Siauw Tik Kwie, Pirngadi, Subanto, Imandt, Jan Frank, Rudolf Bonnet ikut pula berdebat.
Selain Basoeki Abdullah, para pelukis lain yang masih meneruskan gaya realisme adalah R.M. Surjo Subanto yang juga berkesempatan belajar di negeri Belanda dengan beberapa karyanya, seperti potret ”Wanita dalam Baju Kurung” dan “Gadis Bermain Gitar”. Ada pula nama-nama seperti Lee Man Fong, Soedarso, S Sudjojono, Affandi Koesoema dan Rustamdji. Para pelukis ini juga merupakan bagian salah satu dari gabungan dalam sanggar-sanggar seni lukis Indonesia, seperti ada yang tergabung dalam sanggar Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia 1938-1942), Poetera (Poesat Tenaga Rakyat), SIM (Seniman Indonesia Muda), dan sebagainya.
Hanya saja, dengan muncul dan berkembangnya beberapa sanggar seni lukis di Indonesia, maka tema-temanya pun mengalami perkembangan -- tidak lagi terbatas pada keindahan alam, binatang dan potret manusia saja. Mulailah muncul lukisan yang bersifat kritis-realis yang melukiskan soal-soal kehidupan dan penderitaan rakyat sehari-hari seperti kehidupan orang cacat, orang miskin, pengamen, kaum buruh, hingga petani.
ERA PERSAGI
Zaman pergerakan yang ditandai dengan terselenggaranya Sumpah Pemuda 1928, dan pecahnya Perang Asia Timur dengan Jepang sebagai pemenangnya mempengaruhi geliat seni lukis di tanah air. Mazhab Mooi Indie lantas dikecam dan dikritik habis, dianggap hanya mengabadikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan di sekitarnya yang tidak semuanya indah, serba enak, tenang dan damai.
Di sisi lain, pengembangan pada teknik melukis sangat diperhatikan pada masa itu, sehingga seni lukis realisme Indonesia makin memiliki identitas pribadi. Paska Sumpah Pemuda, terjadilah polemik kebudayaan yang riuh rendah dalam media massa. Terutama pada kurun waktu 1935-1939. Para pelukis tidak mau ketinggalan dan ikut ambil bagian. Tokoh-tokoh semacam Lee Man Fong, Ui Tiang Un, Henk Ngantung, Siauw Tik Kwie, Pirngadi, Subanto, Imandt, Jan Frank, Rudolf Bonnet ikut pula berdebat.
Sindudarsono Sudjojono (1913-1986) dan Affandi Koesoema (1907-1990) adalah dua tokoh yang paling menonjol pada masa itu. Berbeda dengan Affandi yang pendiam, Sudjojono adalah tokoh yang keras dan pemberang. Selain sebagai pelukis, dia juga kritikus seni lukis berlidah tajam. Pak Djon – begitu panggilan akrabnya – kerap mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena hanya melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Kritik Pak Djon itu tentu saja membuat berang Basoeki.
Pak Djon dan Basoeki kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935. Namun di luar itu, Pak Djon yang memang memulai karirnya sebagai seorang guru sekolah menengah dianggap pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pengikut dan muridnya banyak, sehingga komunitas seniman, menjulukinya sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudian membawanya ke Batavia pada 1925. Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadi selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya sedari awal dia lebih mempersiapkan diri menjadi guru para calon pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun pada 1931. Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis profesional.
Pada 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Batavia. (Jakarta). Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang mempopulerkan namanya sebagai pelukis. Setelah itu, bersama pelukis Agus Djaja, Abdulsalam, Rameli, dan beberapa pelukis yang bekerja untuk bidang reklame di percetakan, dia mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Usia Persagi tidak panjang. Dibentuk 23 Oktober 1938 di salah satu Sekolah Dasar Jakarta di Gang Kaji dan bubar karena dipaksa Jepang pada 1942.
Di Persagi, Pak Djon menjadi Sekretaris dan sekaligus Juru Bicaranya. Diangkat sebagai Ketua adalah Agus Djaja dengan anggota-anggota L Setijoso, Rameli, Abdulsalam, S Sudiardjo, Saptarita Latif, H Hutagalung, S Tutur, Sindusisworo, T.B. Ateng Rusy’an, Syuaib Sastradiwirja, Sukirno dan Surono. Pelukis Wakidi di Padang dan Hendrodjasmoro di Yogyakarta merupakan anggota di luar Jakarta.
Semboyan ekstrim Persagi adalah : Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan di atas kanvas !
Pak Djon dan Basoeki kemudian dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935. Namun di luar itu, Pak Djon yang memang memulai karirnya sebagai seorang guru sekolah menengah dianggap pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pengikut dan muridnya banyak, sehingga komunitas seniman, menjulukinya sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudian membawanya ke Batavia pada 1925. Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadi selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya sedari awal dia lebih mempersiapkan diri menjadi guru para calon pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun pada 1931. Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis profesional.
Pada 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Batavia. (Jakarta). Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang mempopulerkan namanya sebagai pelukis. Setelah itu, bersama pelukis Agus Djaja, Abdulsalam, Rameli, dan beberapa pelukis yang bekerja untuk bidang reklame di percetakan, dia mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Usia Persagi tidak panjang. Dibentuk 23 Oktober 1938 di salah satu Sekolah Dasar Jakarta di Gang Kaji dan bubar karena dipaksa Jepang pada 1942.
Di Persagi, Pak Djon menjadi Sekretaris dan sekaligus Juru Bicaranya. Diangkat sebagai Ketua adalah Agus Djaja dengan anggota-anggota L Setijoso, Rameli, Abdulsalam, S Sudiardjo, Saptarita Latif, H Hutagalung, S Tutur, Sindusisworo, T.B. Ateng Rusy’an, Syuaib Sastradiwirja, Sukirno dan Surono. Pelukis Wakidi di Padang dan Hendrodjasmoro di Yogyakarta merupakan anggota di luar Jakarta.
Semboyan ekstrim Persagi adalah : Teknik tidak penting. Yang penting isi jiwa ini tumpahkan di atas kanvas !
Lukisan Sudjojono punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul : Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Ketiga pelukis itu yakni Basoeki Abdullah, Sindudarsono Sudjojono dan Affandi itu hingga kini dianggap sebagai ikon maestro seni lukis Indonesia. Beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.
Ketiga pelukis itu yakni Basoeki Abdullah, Sindudarsono Sudjojono dan Affandi itu hingga kini dianggap sebagai ikon maestro seni lukis Indonesia. Beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.
Komentar
Posting Komentar