Jejak Panjang Seni Lukis Modern Indonesia part.2
TENTANG AFFANDI
Affandi sendiri adalah kelahiran Cirebon pada 1907. Dia putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Pendidikan formalnya cukup tinggi, mulai dari HIS, MULO hingga AMS di jaman Belanda. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi.
Wahdi adalah salah satu pelukis yang belajar langsung dari Abdullah Suriosubroto, ayah dari Basoeki Abdullah. Kelompok Lima Bandung pimpinan Affandi ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini menjadi sebuah sebuah kelompok belajar bersama dan kerja saling membantu sesama pelukis yang ada di Bandung, termasuk sejumlah pelukis yunior.
Affandi sendiri adalah kelahiran Cirebon pada 1907. Dia putra dari R. Koesoema, seorang mantri ukur di pabrik gula di Ciledug, Cirebon. Pendidikan formalnya cukup tinggi, mulai dari HIS, MULO hingga AMS di jaman Belanda. Namun, bakat seni lukisnya yang sangat kental mengalahkan disiplin ilmu lain dalam kehidupannya, dan memang menjadikan namanya tenar sama dengan tokoh bidang lainnya.
Pada umur 26 tahun, pada 1933, Affandi menikah dengan Maryati, gadis kelahiran Bogor. Affandi dan Maryati dikaruniai seorang putri yang nantinya akan mewarisi bakat ayahnya sebagai pelukis, yaitu Kartika Affandi.
Sebelum mulai melukis, Affandi pernah menjadi guru dan pernah juga bekerja sebagai tukang sobek karcis dan pembuat gambar reklame bioskop di salah satu gedung bioskop di Bandung. Pekerjaan ini tidak lama digeluti karena Affandi lebih tertarik pada bidang seni lukis. Sekitar tahun 30-an, Affandi bergabung dalam kelompok Lima Bandung, yaitu kelompok lima pelukis Bandung bersama Hendra Gunawan, Barli, Sudarso dan Wahdi.
Wahdi adalah salah satu pelukis yang belajar langsung dari Abdullah Suriosubroto, ayah dari Basoeki Abdullah. Kelompok Lima Bandung pimpinan Affandi ini memiliki andil yang cukup besar dalam perkembangan seni rupa di Indonesia. Kelompok ini menjadi sebuah sebuah kelompok belajar bersama dan kerja saling membantu sesama pelukis yang ada di Bandung, termasuk sejumlah pelukis yunior.
Dalam melukis Affandi melangkah dengan lebih mengutamakan kebebasan berekspresi. Dilandasi jiwa kerakyatan, Affandi tertarik dengan tema kehidupan masyarakat kecil. Teknik melukis bentuk bahkan yang cenderung memperindah obyeknya seperti yang dilakukan angkatan Moi India atau India Jelita, dirasakan Affandi tidak mewakili kondisi masyarakat dengan kemelaratan akibat penjajahan.
Dengan pengalaman dan melihat kondisi masyarakat yang menderita, Affandi lebih tergugah mengungkapkan lewat tumpahan dan goresan warna kusam dan tema kemelaratan. Pengamatan terhadap sensitivitas lingkungan diungkapkan secara lugas, sehingga karyanya yang berjudul ”Pejuang Romusha” (1943) yang menampilkan rakyat dalam kemelaratan tidak disukai penguasa Jepang.
Humanisme Affandi terlihat juga pada karyanya ”Dia Datang, Menunggu, dan Pergi” (1944). Dalam karya ini ditampilkan seorang pengemis yang baru datang, kemudian meminta, lalu pergi. Raut muka pengemis yang kurus dengan pakaian lusuh, namun dari sisa ketegarannya masih bersemangat menjalani kehidupan walaupun dengan mengemis. Pengamatan Affandi seperti ini menunjukkan keprihatinan jiwanya terhadap penderitaan sesama antara anak bangsa. Tema-tema kerakyatan menjadi dominasi dalam karya-karya Affandi.
Memang, saat jaman penjajahan Jepang (1942-1945), para pelukis hidup susah seperti kebanyakan rakyat pada umumnya. Meski Persagi dibubarkan, aspirasinya tetap hidup karena wibawa Pak Djon dan Agus Djaja yang memberikan tuntutan melukis di jaman penjajahan yang singkat namun bengis itu. Prinsip mazhab Persagi tetap hidup yaitu untuk tidak terlalu menghiraukan teknik lukis, selain lebih dahulu berani melukis.
Beberapa tokoh muda pelukis muncul di jaman Jepang yakni Otto Djaja, Kusnadi, Kartono Yudokusumo, Baharuddin, Harjadi S, Njoman Ngendon. Mereka inilah yang nantinya menghidupkan sanggar-sanggar lukisan yang menjamur di awal kemerdekaan (1945-1950-an) dan menjadi tempat penghidupan para pelukis.
Pak Djon selama jaman Jepang diserahi memimpin Bagian Kebudayaan dari Poetera, singkatan dari Poesat Tenaga Rakyat yang dipimpin empat serangkai : Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mansyur. Affandi sempat berpameran tunggal pada jaman ini, dengan izin dan perlindungan dari Pak Djon pada 1943. Setelah itu pameran tunggal karya-karya Kartono Yudhokusumo, Basoeki Abdullah dan Njoman Ngendon digelar pula secara berurutan.
ERA REVOLUSI
Berakhirnya penjajahan Jepang dan tibanya Hari Kemerdekaan telah menggairahkan kehidupan para pelukis. Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ikut ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain ”Merdeka atau mati !”. Itulah hasil karya anak-anak ex Persagi. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono lantas menanyakan kepada Chairil soal itu, maka dengan enteng Chairil ngomong : ”Bung, ayo Bung !” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Usut punya usut. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu ! Wah, wah, wah.
Era revolusi kemerdekaan di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah tema-tema kerakyatan. Obyek lukisan yang hanya berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang kurang cocok dan anti revolusi. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah.
Di masa revolusi Basoeki Abdullah tidak berada di tanah air. Bisa jadi karena dia merasa terpojok pada serangan-serangan pedas pada karya-karyanya. Dia mendalami seni lukis di Eropa. Sempat pula dia bermukim di Italia dan Prancis untuk belajar langsung dari para pelukis dengan reputasi dunia.
Pada 6 September 1948 bertempat di Amsterdam sewaktu peringatan penobatan Ratu Belanda, digelar sayembara melukis, dan Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan Amerika. Dia berhasil keluar sebagai pemenang.
Basoeki banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basoeki Abdullah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis istana Raja Bhumibol Adulyadej.
Di tanah air, dengan kepindahan ibukota negara ke Yogyakarta, sejumlah seniman terkemuka dari Jakarta dan Bandung turut juga hijrah. Pada 1946 berdirilah sanggar Seniman Masyarakat di Yogyakarta dipimpin oleh Affandi sebagai perkumpulan seni lukis pertama yang potensial. Tidak lama kemudian, namanya diganti menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan kali ini pimpinan beralih ke S. Sudjojono.
Para pelukis era SIM saat itu adalah Affandi, S Sudjojono, Hendra, Sudarso, Trubus, Dullah, Kartono Yudhokusumo, Basoeki Resobowo, Rusli, Harjadi, Surono, Suromo, Abdulsalam, D Joes dan Zaini. Pameran sebagai hasil melukis bersama digelar pada waktu-waktu tertentu dalam sanggar saja.
Pada 1947 sebagian anggota SIM pindah ke Surakarta, termasuk S Sudjojono, sang Ketua. Anggotanya bertambah dengan Trisno Sumardjo, Oesman Effendi, Sasongko, Suparto, Mardian, Wakidjan dan Srihadi. Terbit pula satu majalah seni rupa dengan nama Prolet Kult. Lantas pada tahun yang sama, Affandi, Sudarso, Sudiardjo, Trubus dan Sasongko berpisah dari SIM dan bersama dengan anggota baru seperti Kusnadi dan Sudjana Kerton mendirikan perkumpulan bernama Pelukis Rakyat.
LEKRA DAN MANIKEBU
Rustamadji, Sumitro, Sajono, Saptoto dan C.J. Ali bergabung pula dalam Pelukis Rakyat. Dan pada 1948, Pelukis Rakyat menggelar pameran pertama dri cabang baru seni rupa Indonesia di pendopo timur Museum Sonobudoyo. Dua tahun kemudian, pada 1950 sebagian anggotanya seperti Nasjah Djamin, Bagong Kussudiardja, Kusnadi, Sumitro, Saptoto keluar dari Pelukis Rakyat karena tidak suka dengan pengaruh Lekra.
Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan terbesar yang dekat dengan Presiden Soekarno. Affandi pernah menjadi salah satu pimpinan dan masuk di bagian seni rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya. Bersama pelukis Sholihin, Rubai dan umaryo L.E. para anggota Pelukis Rakyat yang keluar ini kemudian mendirikan perkumpulan yang ingin terbebas dari Lekra bernama Pelukis Indonesia.
Perkumpulan seni lukis lain yang sudah berdiri di Yogyakarta sejak 1945, dengan kegiatan mengadakan kursus menggambar serta pembuatan poster-poster adalah Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan Ketuanya Djajengasmoro dan anggota-anggota Sindusisworo (ex Persagi), Indrosugondo dan Prawito. Meski berbeda perkumpulan, mereka kerap menggelar pameran bersama. Pada 1948, misalnya, SIM dan Pelukis Rakyat mengadakan pameran bersama.
Sekolah Menengah Guru Gambar didirikan di Yogyakarta oleh Djajengasmoro bersama R.J. Katamsi yang juga banyak melahirkan kader-kader pelukis muda. Di Surakarta berdiri pula Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dengan Ketuanya Dr Moerdowo sejak 1945 dan perkumpulan seni lukis Pelangi yang diketuai Sularko antara 1947 – 1949.
HBS ini berusia panjang, bahkan di penghujung tahun 1980-an berusaha direvitalisasi dengan menggelar pameran akbar karya para anggotanya seperti Jeihan, Didik Suardi, Remy Silado, Srihadi Sudarsono dan lain-lain. Para anggota HBS kini tersebar di segala penjuru Indonesia.
Adapun di Bandung, setelah era Affandi dengan kelompok Lima-nya, berdiri pula perkumpulan-perkumpulan pelukis lain seperti Jiwa Mukti dan Pancaran Cipta Rasa dengan ketua masing-masing Barli dan Abedy. Kartono Yudhokusumo mendirikan pula Sanggar Seniman Bandung (SSB). Nasjah Djamin sebelum ke Jogjakarta sendiri sebelumnya di Medan pernah mendirikan Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) bersama Hasan Djafar dan Hussein, dengan Ketua Ismail Daulay.
Selain ASRI, ada pula perkumpulan pelukis lain di Medan yang diketuai oleh Dr Djulham dengan anggotanya antara lain Tino Sidin. Tino Sidin ini belakangan hijrah ke Jakarta dan sering siaran di TVRI dalam acara menggambar untuk anak-anak. Adapun di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), pada 1946 berdiri perkumpulan Seniman Muda Indonesia, disingkat SEMI yang diketuai Zetka dengan anggota antara lain A.A. Navis dan Zanain.
Sementara di Jawa Timur, sejumlah pelukis mendirikan Gabungan Pelukis Muda di Madiun dengan Ketuanya Widagdo dan pada 1952 berdiri pula Sanggar Prabangkara di Surabaya dengan Ketuanya Karyono Ys,
Pada 1952, maraknya perhimpunan pelukis berlanjut dengan berdirinya Pelukis Indonesia Muda (PIM) di bawah pimpinan Gregorius. Sidharta dan Widayat di Yogyakarta. Anggotanya kebanyakan mahasiswa-mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), kini menjadi Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI). Di Surabaya, pada tahun yang sama
Seusai revolusi fisik, Affandi kembali ke Jakarta dan mendirikan perkumpulan Gabungan Pelukis Indonesia dengan anggota-anggota antara lain Sutiksna, Nasjah Djamin, Handrio, Zaini, Sjahri, Nashar, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo. Lee Man Fong, pelukis dari era sebelum penjajahan Jepang mendirikan organisasi pelukis keturunan Tionghoa, Yin Hua pada 1955. Ada 100 lebih pelukis tergabung disitu dan aktivitasnya ramai.
Beberapa anggota Yin Hua ikut mewarnai sejarah seni lukis Indonesia. Selain Lee Man Fong yang karya-karyanya unik karena memiliki dua gaya (Barat dan Chinese Art), ada pula karya-karya atraktif dari Lim Wasim, Wen Peor, Lie Tjoen Tjay, Siauw Swi Tjing (kemudian merubah nama menjadi Chris Suharso), Samboja serta Liem Tjoe Ing.
Dengan pengalaman dan melihat kondisi masyarakat yang menderita, Affandi lebih tergugah mengungkapkan lewat tumpahan dan goresan warna kusam dan tema kemelaratan. Pengamatan terhadap sensitivitas lingkungan diungkapkan secara lugas, sehingga karyanya yang berjudul ”Pejuang Romusha” (1943) yang menampilkan rakyat dalam kemelaratan tidak disukai penguasa Jepang.
Humanisme Affandi terlihat juga pada karyanya ”Dia Datang, Menunggu, dan Pergi” (1944). Dalam karya ini ditampilkan seorang pengemis yang baru datang, kemudian meminta, lalu pergi. Raut muka pengemis yang kurus dengan pakaian lusuh, namun dari sisa ketegarannya masih bersemangat menjalani kehidupan walaupun dengan mengemis. Pengamatan Affandi seperti ini menunjukkan keprihatinan jiwanya terhadap penderitaan sesama antara anak bangsa. Tema-tema kerakyatan menjadi dominasi dalam karya-karya Affandi.
Memang, saat jaman penjajahan Jepang (1942-1945), para pelukis hidup susah seperti kebanyakan rakyat pada umumnya. Meski Persagi dibubarkan, aspirasinya tetap hidup karena wibawa Pak Djon dan Agus Djaja yang memberikan tuntutan melukis di jaman penjajahan yang singkat namun bengis itu. Prinsip mazhab Persagi tetap hidup yaitu untuk tidak terlalu menghiraukan teknik lukis, selain lebih dahulu berani melukis.
Beberapa tokoh muda pelukis muncul di jaman Jepang yakni Otto Djaja, Kusnadi, Kartono Yudokusumo, Baharuddin, Harjadi S, Njoman Ngendon. Mereka inilah yang nantinya menghidupkan sanggar-sanggar lukisan yang menjamur di awal kemerdekaan (1945-1950-an) dan menjadi tempat penghidupan para pelukis.
Pak Djon selama jaman Jepang diserahi memimpin Bagian Kebudayaan dari Poetera, singkatan dari Poesat Tenaga Rakyat yang dipimpin empat serangkai : Soekarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan K.H. Mansyur. Affandi sempat berpameran tunggal pada jaman ini, dengan izin dan perlindungan dari Pak Djon pada 1943. Setelah itu pameran tunggal karya-karya Kartono Yudhokusumo, Basoeki Abdullah dan Njoman Ngendon digelar pula secara berurutan.
ERA REVOLUSI
Berakhirnya penjajahan Jepang dan tibanya Hari Kemerdekaan telah menggairahkan kehidupan para pelukis. Ketika republik ini diproklamasikan 1945, banyak pelukis ikut ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain ”Merdeka atau mati !”. Itulah hasil karya anak-anak ex Persagi. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945.
Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan muncul penyair Chairil Anwar. Soedjojono lantas menanyakan kepada Chairil soal itu, maka dengan enteng Chairil ngomong : ”Bung, ayo Bung !” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah.
Usut punya usut. Dari manakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu ! Wah, wah, wah.
Era revolusi kemerdekaan di Indonesia membuat banyak pelukis Indonesia beralih dari tema-tema romantisme menjadi cenderung ke arah tema-tema kerakyatan. Obyek lukisan yang hanya berhubungan dengan keindahan alam Indonesia dianggap sebagai tema yang kurang cocok dan anti revolusi. Para pelukis kemudian beralih kepada potret nyata kehidupan masyarakat kelas bawah dan perjuangan menghadapi penjajah.
Di masa revolusi Basoeki Abdullah tidak berada di tanah air. Bisa jadi karena dia merasa terpojok pada serangan-serangan pedas pada karya-karyanya. Dia mendalami seni lukis di Eropa. Sempat pula dia bermukim di Italia dan Prancis untuk belajar langsung dari para pelukis dengan reputasi dunia.
Pada 6 September 1948 bertempat di Amsterdam sewaktu peringatan penobatan Ratu Belanda, digelar sayembara melukis, dan Basoeki Abdullah berhasil mengalahkan 87 pelukis Eropa dan Amerika. Dia berhasil keluar sebagai pemenang.
Basoeki banyak mengadakan pameran tunggal baik di dalam negeri maupun di luar negeri, antara lain karyanya pernah dipamerkan di Bangkok (Thailand), Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Portugal dan negara-negara lain. Lebih kurang 22 negara yang memiliki karya lukisan Basoeki Abdullah. Hampir separuh hidupnya dihabiskan di luar negeri diantaranya beberapa tahun menetap di Thailand dan diangkat sebagai pelukis istana Raja Bhumibol Adulyadej.
Di tanah air, dengan kepindahan ibukota negara ke Yogyakarta, sejumlah seniman terkemuka dari Jakarta dan Bandung turut juga hijrah. Pada 1946 berdirilah sanggar Seniman Masyarakat di Yogyakarta dipimpin oleh Affandi sebagai perkumpulan seni lukis pertama yang potensial. Tidak lama kemudian, namanya diganti menjadi Seniman Indonesia Muda (SIM) dan kali ini pimpinan beralih ke S. Sudjojono.
Para pelukis era SIM saat itu adalah Affandi, S Sudjojono, Hendra, Sudarso, Trubus, Dullah, Kartono Yudhokusumo, Basoeki Resobowo, Rusli, Harjadi, Surono, Suromo, Abdulsalam, D Joes dan Zaini. Pameran sebagai hasil melukis bersama digelar pada waktu-waktu tertentu dalam sanggar saja.
Pada 1947 sebagian anggota SIM pindah ke Surakarta, termasuk S Sudjojono, sang Ketua. Anggotanya bertambah dengan Trisno Sumardjo, Oesman Effendi, Sasongko, Suparto, Mardian, Wakidjan dan Srihadi. Terbit pula satu majalah seni rupa dengan nama Prolet Kult. Lantas pada tahun yang sama, Affandi, Sudarso, Sudiardjo, Trubus dan Sasongko berpisah dari SIM dan bersama dengan anggota baru seperti Kusnadi dan Sudjana Kerton mendirikan perkumpulan bernama Pelukis Rakyat.
LEKRA DAN MANIKEBU
Rustamadji, Sumitro, Sajono, Saptoto dan C.J. Ali bergabung pula dalam Pelukis Rakyat. Dan pada 1948, Pelukis Rakyat menggelar pameran pertama dri cabang baru seni rupa Indonesia di pendopo timur Museum Sonobudoyo. Dua tahun kemudian, pada 1950 sebagian anggotanya seperti Nasjah Djamin, Bagong Kussudiardja, Kusnadi, Sumitro, Saptoto keluar dari Pelukis Rakyat karena tidak suka dengan pengaruh Lekra.
Lekra atau Lembaga Kebudayaan Rakyat adalah organisasi kebudayaan terbesar yang dekat dengan Presiden Soekarno. Affandi pernah menjadi salah satu pimpinan dan masuk di bagian seni rupa bersama Basuki Resobowo, Henk Ngantung, dan sebagainya. Bersama pelukis Sholihin, Rubai dan umaryo L.E. para anggota Pelukis Rakyat yang keluar ini kemudian mendirikan perkumpulan yang ingin terbebas dari Lekra bernama Pelukis Indonesia.
Perkumpulan seni lukis lain yang sudah berdiri di Yogyakarta sejak 1945, dengan kegiatan mengadakan kursus menggambar serta pembuatan poster-poster adalah Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) dengan Ketuanya Djajengasmoro dan anggota-anggota Sindusisworo (ex Persagi), Indrosugondo dan Prawito. Meski berbeda perkumpulan, mereka kerap menggelar pameran bersama. Pada 1948, misalnya, SIM dan Pelukis Rakyat mengadakan pameran bersama.
Sekolah Menengah Guru Gambar didirikan di Yogyakarta oleh Djajengasmoro bersama R.J. Katamsi yang juga banyak melahirkan kader-kader pelukis muda. Di Surakarta berdiri pula Himpunan Budaya Surakarta (HBS) dengan Ketuanya Dr Moerdowo sejak 1945 dan perkumpulan seni lukis Pelangi yang diketuai Sularko antara 1947 – 1949.
HBS ini berusia panjang, bahkan di penghujung tahun 1980-an berusaha direvitalisasi dengan menggelar pameran akbar karya para anggotanya seperti Jeihan, Didik Suardi, Remy Silado, Srihadi Sudarsono dan lain-lain. Para anggota HBS kini tersebar di segala penjuru Indonesia.
Adapun di Bandung, setelah era Affandi dengan kelompok Lima-nya, berdiri pula perkumpulan-perkumpulan pelukis lain seperti Jiwa Mukti dan Pancaran Cipta Rasa dengan ketua masing-masing Barli dan Abedy. Kartono Yudhokusumo mendirikan pula Sanggar Seniman Bandung (SSB). Nasjah Djamin sebelum ke Jogjakarta sendiri sebelumnya di Medan pernah mendirikan Angkatan Seni Rupa Indonesia (ASRI) bersama Hasan Djafar dan Hussein, dengan Ketua Ismail Daulay.
Selain ASRI, ada pula perkumpulan pelukis lain di Medan yang diketuai oleh Dr Djulham dengan anggotanya antara lain Tino Sidin. Tino Sidin ini belakangan hijrah ke Jakarta dan sering siaran di TVRI dalam acara menggambar untuk anak-anak. Adapun di Bukit Tinggi (Sumatera Barat), pada 1946 berdiri perkumpulan Seniman Muda Indonesia, disingkat SEMI yang diketuai Zetka dengan anggota antara lain A.A. Navis dan Zanain.
Sementara di Jawa Timur, sejumlah pelukis mendirikan Gabungan Pelukis Muda di Madiun dengan Ketuanya Widagdo dan pada 1952 berdiri pula Sanggar Prabangkara di Surabaya dengan Ketuanya Karyono Ys,
Pada 1952, maraknya perhimpunan pelukis berlanjut dengan berdirinya Pelukis Indonesia Muda (PIM) di bawah pimpinan Gregorius. Sidharta dan Widayat di Yogyakarta. Anggotanya kebanyakan mahasiswa-mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), kini menjadi Fakultas Seni Rupa di Institut Seni Indonesia (ISI). Di Surabaya, pada tahun yang sama
Seusai revolusi fisik, Affandi kembali ke Jakarta dan mendirikan perkumpulan Gabungan Pelukis Indonesia dengan anggota-anggota antara lain Sutiksna, Nasjah Djamin, Handrio, Zaini, Sjahri, Nashar, Oesman Effendi dan Trisno Sumardjo. Lee Man Fong, pelukis dari era sebelum penjajahan Jepang mendirikan organisasi pelukis keturunan Tionghoa, Yin Hua pada 1955. Ada 100 lebih pelukis tergabung disitu dan aktivitasnya ramai.
Beberapa anggota Yin Hua ikut mewarnai sejarah seni lukis Indonesia. Selain Lee Man Fong yang karya-karyanya unik karena memiliki dua gaya (Barat dan Chinese Art), ada pula karya-karya atraktif dari Lim Wasim, Wen Peor, Lie Tjoen Tjay, Siauw Swi Tjing (kemudian merubah nama menjadi Chris Suharso), Samboja serta Liem Tjoe Ing.
Disusul pada 1959, berdiri pula Sanggar Bambu dengan pimpinan Sunarto Pr dan Mulyadi W. Anggota-anggota Sanggar Bambu antara lain adalah Syahwil, Danarto, Arif Sudarsono dan Wardoyo. Ini adalah perkumpulan pelukis paling penting pada era 1950-1960-an karena memiliki ciri khas sendiri. Sanggar Bambu melahirkan gaya dekoratif pada lukisan dengan garis serba meliuk, ornamental dan didominasi bentuk datar.
Desakan dan tekanan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang secara resmi mendesak para seniman, budayawan dan pelukis untuk secara agitatif memasukkan cita kerakyatan versi gerakan komunis membuat suasana kebebasan berekspresi sedikit terganggu. Lekra didominasi para pelukis di Jakarta. Kelompok ASRI dan Sanggar Bambu di Jogjakarta serta kubu seni lukis Bandung tentu saja tak menerima realitas ini. Mereka melawan.
Sesungguhnya Lekra menunggangi idealisme S Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan soal seni kerakyatan. Seni lukis yang bercita kerakyatan yang sesungguhnya berkonotasi netral dan biasa, dipakai sebagai corong politik. Lekra memasukkan gagasan tentang peranan kesenian, termasuk seni lukis, dalam perjuangan kelas. Seni lukis pada saat itu menjadi alat politik kelompok dominan yakni PKI.
Gerakan Manifesto Kebudayaan pun lahir pada 17 Agustus 1963. Gerakan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950-an memilih untuk membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda sebagaimana didengungkan Lekra, namun lebih sebagai sarana ekspresi pembuatnya.
Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) itu ditentang sengit oleh Lekra, dan celakanya Presiden Soekarno membela Lekra. Bung Karno menganggap pernyataan tersebut melemahkan semangat revolusi. Lalu diganyanglah Manikebu. Dan para pelukis yang mendambakan kebebasan kreatif, dihambat lajunya. Yang punya jabatan dan membela manikebu dicopot dari jabatannya.
Meski kurun waktu ini penuh kemelut, sebuah tonggak sejarah seni lukis sempat dilahirkan yaitu terbitnya kitab seni lukis bersejarah berjudul : ”Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno”. Ini adalah kitab seni rupa yang besar, yang hingga kini belum ada yang mampu menandinginya. Buku tersebut untuk jilid I dan II terbit pada 1956, dan jilid III dan IV terbit pada 1959.
Buku babon seni lukis yang dibuat atas dasar perintah Bung Karno itu memuat 384 reproduksi koleksi seni Presiden Soekarno dan disusun oleh Dullah, pelukis istana. Pada 1964 buku itu dicetak ulang dengan sejumlah reproduksi karya. Untuk edisi ini jumlah kitab menjadi lima seri. Yang ke 4 berisi 400 lukisan. Dan yang 1 jilid berisi 167 patung dan porselen koleksi Presiden Soekarno. Kitab yang diedarkan ke seluruh dunia ini disusun oleh Lee Man Fong, yang juga salah satu pelukis istana pada masa jabatan berikutnya.
Buku tersebut amat berarti bagi perkembangan seni lukis Indonesia. Karya-karya bagus Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono, Dullah, Wakidi ada di sana. Ada pula karya pelukis kelas dunia seperti Diego Rivera. Juga karya pelukis asing yang pernah memberikan spirit pada dunia seni lukis Indonesia seperti Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Arie Smit. Buku ini berjasa besar sebagai referensi berharga bagi dunia seni lukis.
ERA ORDE BARU
Pada 30 September 1965 meletus Gerakan 30 September. Dan serentak dengan itu, perjalanan politik Indonesia segera berbalik. Lekra pun bubar. Dengan begitu, faham yang meletakkan politik sebagai panglima dalam kesenian, termasuk seni lukis, juga terhapuskan. Para pelukis di berbagai kota kembali menikmati kebebasan menciptanya, tanpa perlu diganggu berbagai agitasi. Seni lukis kembali ke seni lukis.
Setahun kemudian, pada 1966 sejumlah seniman yang bergabung dalam Grup Sebelas Seniman Bandung muncul dalam pameran besar di Jakarta. Mereka antara lain adalah Achmad Sadali, But Mochtar, Popo Iskandar dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Seni Rupa. Aliran mereka jauh dari realisme sosial dan mengarah pada kubisme atau abstraksionisme.
Aktivitas kebebasan ekspresi melukis ini terus berlanjut dengan pameran lukisan di Gedung Pola, Jakarta pada April 1968. Sejumlah nama besar ambil bagian diantaranya Agus Djaja (mantan Ketua Persagi jaman Jepang), Otto Djaja dan Affandi. Kemudian yang lebih muda adalah Kusnadi, Srihadi Sudarsono, Suparto, Zaini dan Oesman Effendi. Serta yang generasinya di bawah mereka seperti Mustika dan Mulyadi.
Sejak itulah pameran demi pameran berlangsung tanpa pernah berhenti. November 1968 digelar Pesta Seni di Taman Ismail Marzuki (TIM), yang baru saja diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ada 132 lukisan karya pelukis pilihan dari Yogyakarta, Jakarta dan Bandung ditampilkan di ruang pamer. Kekayaan corak para pelukis makin beragam dan makin berkembang. Realisme, Surealisme, Impresionisme, abstraksi, kubisme semua ada dan ambil bagian.
Sejumlah pengajar perguruan tinggi Seni Rupa juga ingin unjuk gigi. Pada 1969 digelar pameran bersama antara dosen ASRI Jogjakarta bersama dosen Seni Rupa ITB Bandung di Jakarta. Tampil saat itu Bagong Kussudiardjo, Budiani, Edhi Sunarso, Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasyah, Mujitha kesemuanya dari Jogja, dan Erna Pirous, Rustam Arief, Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T Sutanto, Umi Dahlan dan Haryadi Suadi, wakil dari Bandung.
Pameran bersama itu tampaknya hendak meredakan pertentangan dan pergulatan seru dua kubu seni lukis antara formalisme modernis ala ITB dan ekspresionisme nasionalis ala ASRI Jogjakarta yang terbentuk diantara mereka pada masa tersebut.
Era 1970-an adalah era kemapanan. Banyak pelukis yang mampu berpameran tunggal. Padahal, sesuai konvensi yang ada di lingkungan komunitas pelukis, bila ada pelukis yang melakukan pameran tunggal, maka dia akan segera terangkat sebagai sosok yang lebih menggenggam citra pelukis profesional. Pelukis-pelukis seperti Nashar, D.A. Peransi, Zaini, Popo Iskandar serta Mustika membuktikan hal itu.
Surabaya yang selama ini jarang ambil bagian dalam hiruk pikuk pameran seni lukis mulai bangkit pada era 1970-an. Muncul sejumlah nama yang amat menjanjikan. Kelompok ini bernaung di bawah bendera Kelompok Aksera atau Akademi Seni Rupa Surabaya. Diantara tokoh-tokohnya adalah Gatot Kusumo, Amang Rahman, O.H. Supono, Daryono dan Krishna Mustajab.
Hanya saja, Nashar, Zaini dan Popo Iskandar menjadi nama-nama pelukis yang menonjol dan terkuat pada era 1970-an. Rajin berpameran dan lukisannya diburu para kolektor. Tentu banyak yang lain yang juga patut dibicarakan, seperti karya-karya Srihadi Sudarsono, A.D. Pirous, O.H. Supono, Oesman Effendi dan sebagainya. Namun karya Nashar, Zaini dan Popo Iskandar mewakili semangat era 1970-an, yakni lirisisme dan berkembangnya generasi abstrak dan imajinatif, terutama Nashar dan A.D Pirous.
Lirisisme pada seni lukis memiliki arti : getar perasaan atau emosi pelukis menjadi subyek utama yang menghidupi kanvas-kanvas.
LIRISISME VERSUS ANTI LIRISISME
Akan tetapi dominasi itu mendapat tantangan dari generasi pelukis yang lebih muda. Mereka terbawa oleh iklim progresif yang melanda sejumlah perguruan tinggi seni baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun Surabaya. Gejala yang menonjol dari progresivitas itu adalah munculnya bentuk-bentuk geometris dan matematis pada kanvas-kanvas pelukis muda.
Itulah yang ditampakkan oleh pelukis-pelukis muda seperti Nanik Mirna, Harsono, Wardoyo Sugianto, Agustinus Sumargo lewat beberapa kali pameran mereka di Solo dan Jogjakarta. Di Bandung, Sugeng Santoso dan Anyool Broto juga menciptakan tema seni lukis yang sejalan. Sedangkan pelukis J Eka Suprihadi, Suatmadji dan Abdul Kholim melaju ke seni kolasi dan asemblasi.
Pada 1973, Danarto menggebrak di TIM dan sekaligus menciptakan monumen gejala lirisisme versus progresivitas ini dengan pamerannya yang kontroversial. Dia menggelar sejumlah kanvas kosong putih tanpa pigura. Danarto mengatakan kepada publik bahwa ia memaksudkan karyanya sekaligus sebagai arsitektur, lukisan dan patung. Benturan ini akhirnya melahirkan polarisasi lirisisme dan antilirisisme dalam seni rupa Indonesia.
Penyelenggaraan Biennale, atau pameran seni lukis dwi warsa (dua tahunan) di Jakarta mulai digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. Pada pameran itu dipajang ratusan lukisan karya pelukis Indonesia untuk dilombakan. Pameran biennale ini juga memilih lima lukisan untuk diangkat sebagai yang terbaik. Muncullah lima nama dengan lima karya yang dianggap terbaik.
Kelimanya adalah Karya Irsam berjudul ”Matahari di atas Taman”, karya Widayat berjudul ”Keluarga”, karya Abas Alibasyah dengan judul ”Lukisan Wajah”, karya Aming Prayitno dengan judul ”Pohon” serta karya A.D. Pirous berjudul ”Tulisan Putih”. Kelima karya dipilih oleh Dewan Juri yang terdiri dari Affandi, Popo Iskandar, Sudjoko, Fadjar Sidik, Alex Papadimitrou, Kusnadi dan Umar Kayam.
Penetapan pemenang ini akhirnya berujung masalah. Sejumlah pelukis muda memprotes karena perwujudan-perwujudan baru yang sifatnya anti-lirisisme, rasional dan bahkan juga eksperimentatif tak mendapat tempat. Lirisisme, dekoratifisme, kiblat tradisi dan nasionalitas yang dicanangkan oleh panitia diprotes. DKJ dianggap memihak pada seni lukis yang mapan.
Desakan dan tekanan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang secara resmi mendesak para seniman, budayawan dan pelukis untuk secara agitatif memasukkan cita kerakyatan versi gerakan komunis membuat suasana kebebasan berekspresi sedikit terganggu. Lekra didominasi para pelukis di Jakarta. Kelompok ASRI dan Sanggar Bambu di Jogjakarta serta kubu seni lukis Bandung tentu saja tak menerima realitas ini. Mereka melawan.
Sesungguhnya Lekra menunggangi idealisme S Sudjojono, Affandi dan Hendra Gunawan soal seni kerakyatan. Seni lukis yang bercita kerakyatan yang sesungguhnya berkonotasi netral dan biasa, dipakai sebagai corong politik. Lekra memasukkan gagasan tentang peranan kesenian, termasuk seni lukis, dalam perjuangan kelas. Seni lukis pada saat itu menjadi alat politik kelompok dominan yakni PKI.
Gerakan Manifesto Kebudayaan pun lahir pada 17 Agustus 1963. Gerakan yang bertujuan untuk melawan pemaksaan ideologi komunisme membuat pelukis pada masa 1950-an memilih untuk membebaskan karya seni mereka dari kepentingan politik tertentu, sehingga era ekspresionisme dimulai. Lukisan tidak lagi dianggap sebagai penyampai pesan dan alat propaganda sebagaimana didengungkan Lekra, namun lebih sebagai sarana ekspresi pembuatnya.
Manifestasi Kebudayaan (Manikebu) itu ditentang sengit oleh Lekra, dan celakanya Presiden Soekarno membela Lekra. Bung Karno menganggap pernyataan tersebut melemahkan semangat revolusi. Lalu diganyanglah Manikebu. Dan para pelukis yang mendambakan kebebasan kreatif, dihambat lajunya. Yang punya jabatan dan membela manikebu dicopot dari jabatannya.
Meski kurun waktu ini penuh kemelut, sebuah tonggak sejarah seni lukis sempat dilahirkan yaitu terbitnya kitab seni lukis bersejarah berjudul : ”Lukisan-lukisan dan Patung-patung Koleksi Presiden Soekarno”. Ini adalah kitab seni rupa yang besar, yang hingga kini belum ada yang mampu menandinginya. Buku tersebut untuk jilid I dan II terbit pada 1956, dan jilid III dan IV terbit pada 1959.
Buku babon seni lukis yang dibuat atas dasar perintah Bung Karno itu memuat 384 reproduksi koleksi seni Presiden Soekarno dan disusun oleh Dullah, pelukis istana. Pada 1964 buku itu dicetak ulang dengan sejumlah reproduksi karya. Untuk edisi ini jumlah kitab menjadi lima seri. Yang ke 4 berisi 400 lukisan. Dan yang 1 jilid berisi 167 patung dan porselen koleksi Presiden Soekarno. Kitab yang diedarkan ke seluruh dunia ini disusun oleh Lee Man Fong, yang juga salah satu pelukis istana pada masa jabatan berikutnya.
Buku tersebut amat berarti bagi perkembangan seni lukis Indonesia. Karya-karya bagus Abdullah Suriosubroto, Basoeki Abdullah, Affandi, Hendra Gunawan, S Sudjojono, Dullah, Wakidi ada di sana. Ada pula karya pelukis kelas dunia seperti Diego Rivera. Juga karya pelukis asing yang pernah memberikan spirit pada dunia seni lukis Indonesia seperti Rudolf Bonnet, Antonio Blanco, Arie Smit. Buku ini berjasa besar sebagai referensi berharga bagi dunia seni lukis.
ERA ORDE BARU
Pada 30 September 1965 meletus Gerakan 30 September. Dan serentak dengan itu, perjalanan politik Indonesia segera berbalik. Lekra pun bubar. Dengan begitu, faham yang meletakkan politik sebagai panglima dalam kesenian, termasuk seni lukis, juga terhapuskan. Para pelukis di berbagai kota kembali menikmati kebebasan menciptanya, tanpa perlu diganggu berbagai agitasi. Seni lukis kembali ke seni lukis.
Setahun kemudian, pada 1966 sejumlah seniman yang bergabung dalam Grup Sebelas Seniman Bandung muncul dalam pameran besar di Jakarta. Mereka antara lain adalah Achmad Sadali, But Mochtar, Popo Iskandar dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Seni Rupa. Aliran mereka jauh dari realisme sosial dan mengarah pada kubisme atau abstraksionisme.
Aktivitas kebebasan ekspresi melukis ini terus berlanjut dengan pameran lukisan di Gedung Pola, Jakarta pada April 1968. Sejumlah nama besar ambil bagian diantaranya Agus Djaja (mantan Ketua Persagi jaman Jepang), Otto Djaja dan Affandi. Kemudian yang lebih muda adalah Kusnadi, Srihadi Sudarsono, Suparto, Zaini dan Oesman Effendi. Serta yang generasinya di bawah mereka seperti Mustika dan Mulyadi.
Sejak itulah pameran demi pameran berlangsung tanpa pernah berhenti. November 1968 digelar Pesta Seni di Taman Ismail Marzuki (TIM), yang baru saja diresmikan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Ada 132 lukisan karya pelukis pilihan dari Yogyakarta, Jakarta dan Bandung ditampilkan di ruang pamer. Kekayaan corak para pelukis makin beragam dan makin berkembang. Realisme, Surealisme, Impresionisme, abstraksi, kubisme semua ada dan ambil bagian.
Sejumlah pengajar perguruan tinggi Seni Rupa juga ingin unjuk gigi. Pada 1969 digelar pameran bersama antara dosen ASRI Jogjakarta bersama dosen Seni Rupa ITB Bandung di Jakarta. Tampil saat itu Bagong Kussudiardjo, Budiani, Edhi Sunarso, Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasyah, Mujitha kesemuanya dari Jogja, dan Erna Pirous, Rustam Arief, Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T Sutanto, Umi Dahlan dan Haryadi Suadi, wakil dari Bandung.
Pameran bersama itu tampaknya hendak meredakan pertentangan dan pergulatan seru dua kubu seni lukis antara formalisme modernis ala ITB dan ekspresionisme nasionalis ala ASRI Jogjakarta yang terbentuk diantara mereka pada masa tersebut.
Era 1970-an adalah era kemapanan. Banyak pelukis yang mampu berpameran tunggal. Padahal, sesuai konvensi yang ada di lingkungan komunitas pelukis, bila ada pelukis yang melakukan pameran tunggal, maka dia akan segera terangkat sebagai sosok yang lebih menggenggam citra pelukis profesional. Pelukis-pelukis seperti Nashar, D.A. Peransi, Zaini, Popo Iskandar serta Mustika membuktikan hal itu.
Surabaya yang selama ini jarang ambil bagian dalam hiruk pikuk pameran seni lukis mulai bangkit pada era 1970-an. Muncul sejumlah nama yang amat menjanjikan. Kelompok ini bernaung di bawah bendera Kelompok Aksera atau Akademi Seni Rupa Surabaya. Diantara tokoh-tokohnya adalah Gatot Kusumo, Amang Rahman, O.H. Supono, Daryono dan Krishna Mustajab.
Hanya saja, Nashar, Zaini dan Popo Iskandar menjadi nama-nama pelukis yang menonjol dan terkuat pada era 1970-an. Rajin berpameran dan lukisannya diburu para kolektor. Tentu banyak yang lain yang juga patut dibicarakan, seperti karya-karya Srihadi Sudarsono, A.D. Pirous, O.H. Supono, Oesman Effendi dan sebagainya. Namun karya Nashar, Zaini dan Popo Iskandar mewakili semangat era 1970-an, yakni lirisisme dan berkembangnya generasi abstrak dan imajinatif, terutama Nashar dan A.D Pirous.
Lirisisme pada seni lukis memiliki arti : getar perasaan atau emosi pelukis menjadi subyek utama yang menghidupi kanvas-kanvas.
LIRISISME VERSUS ANTI LIRISISME
Akan tetapi dominasi itu mendapat tantangan dari generasi pelukis yang lebih muda. Mereka terbawa oleh iklim progresif yang melanda sejumlah perguruan tinggi seni baik di Jakarta, Bandung, Yogyakarta maupun Surabaya. Gejala yang menonjol dari progresivitas itu adalah munculnya bentuk-bentuk geometris dan matematis pada kanvas-kanvas pelukis muda.
Itulah yang ditampakkan oleh pelukis-pelukis muda seperti Nanik Mirna, Harsono, Wardoyo Sugianto, Agustinus Sumargo lewat beberapa kali pameran mereka di Solo dan Jogjakarta. Di Bandung, Sugeng Santoso dan Anyool Broto juga menciptakan tema seni lukis yang sejalan. Sedangkan pelukis J Eka Suprihadi, Suatmadji dan Abdul Kholim melaju ke seni kolasi dan asemblasi.
Pada 1973, Danarto menggebrak di TIM dan sekaligus menciptakan monumen gejala lirisisme versus progresivitas ini dengan pamerannya yang kontroversial. Dia menggelar sejumlah kanvas kosong putih tanpa pigura. Danarto mengatakan kepada publik bahwa ia memaksudkan karyanya sekaligus sebagai arsitektur, lukisan dan patung. Benturan ini akhirnya melahirkan polarisasi lirisisme dan antilirisisme dalam seni rupa Indonesia.
Penyelenggaraan Biennale, atau pameran seni lukis dwi warsa (dua tahunan) di Jakarta mulai digelar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1974. Pada pameran itu dipajang ratusan lukisan karya pelukis Indonesia untuk dilombakan. Pameran biennale ini juga memilih lima lukisan untuk diangkat sebagai yang terbaik. Muncullah lima nama dengan lima karya yang dianggap terbaik.
Kelimanya adalah Karya Irsam berjudul ”Matahari di atas Taman”, karya Widayat berjudul ”Keluarga”, karya Abas Alibasyah dengan judul ”Lukisan Wajah”, karya Aming Prayitno dengan judul ”Pohon” serta karya A.D. Pirous berjudul ”Tulisan Putih”. Kelima karya dipilih oleh Dewan Juri yang terdiri dari Affandi, Popo Iskandar, Sudjoko, Fadjar Sidik, Alex Papadimitrou, Kusnadi dan Umar Kayam.
Penetapan pemenang ini akhirnya berujung masalah. Sejumlah pelukis muda memprotes karena perwujudan-perwujudan baru yang sifatnya anti-lirisisme, rasional dan bahkan juga eksperimentatif tak mendapat tempat. Lirisisme, dekoratifisme, kiblat tradisi dan nasionalitas yang dicanangkan oleh panitia diprotes. DKJ dianggap memihak pada seni lukis yang mapan.
Muncul-lah statemen Desember Hitam yang berisi tudingan bahwa seni lukis Indonesia sudah mati. Panitia menolak tuduhan tersebut. Sejumlah pelukis muda, mahasiswa STSRI ASRI di Jogjakarta mendapat sanksi. Mereka adalah Harsono, Bonyong Munni Ardhie, Siti Adiyati, Ris Purwono dan Hardi. Sanksi dari pimpinan Kampus STSRI ASRI ini mendapat simpati dari berbagai pihak.
Setidaknya dua kegiatan digelar. Pertama, pameran di Gedung Karta Pustaka Jogjakarta berjudul Nusantara-Nusantara yang menampilkan karya-karya berbau sindiran dan karikatural. Pesertanya adalah Samikun, I Gusti Bagus Widjaja, Wardoyo S, Kristiyanto, Sudarisman, Suatmaji, Agustinus Sumargo dan Agus Dermawan T. Kedua, pameran Seni Rupa Baru pada Agustus 1975 di TIM Jakarta. Tak hanya pelukis yang muncul tetapi juga grafikus dan beberapa pematung. Mereka adalah Anyool Subroto, Bachtiar Zainoel, Pandu Sudewo, Nanik Mirna, Muryoto Hartoyo, Harsono, B. Munni Ardhie, Hardi, Ris Purwana, Siti Adiyati dan Jim Supangkat.
Gerakan Seni Rupa baru ini memang menafikan imaji seni lukis konvensional terkait elemen-elemen lukisan, elemen-elemen gambar dan sebagainya. Dengan lahirnya seni rupa baru, kebebasan cipta pada pelukis muda nampak lebih lepas. Elemen-elemen ruang, gerak dan waktu dianggap sah sebagai bentuk karya seni rupa. Dampak gerakan ini memang luar biasa. Dan gerakan ini bertahan hingga era 1980 dan 1990-an.
GERAKAN SENI RUPA BARU
Ramai pelukis muda mencari idea baru dalam menghasilkan seni rupa baru, termasuklah dalam mengeksplorasi efek multimedia. Selain itu, mereka turut melakukan seni persembahan, seni pemasangan dan seni video. Hal itu terlihat dalam karya pelukis muda Indonesia seperti Tulus Warsito, T Sutanto, Haryadi Suadi, Budi Sulistyo, Satyagraha, Nyoman Nuarta, Dede Eri Supria, Nyoman Gunarsa dan Aming Prayitno serta generasi sesudahnya seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasution, Ivan Sagita, I Gusti Ayu Kadek Murniasih dan Agus Suwage.
Pada kurun ini, kemunculan Dede Eri Supria di penghujung 1970-an sangat memberikan harapan. Dede adalah salah seorang eksponen Seni Rupa baru yang paling serius, dan berjalan sebagai pelukis profesional. Karya-karyanya mengambil titik tolak bentuk realisme, namun ia mengocoknya dalam tema-tema yang sosialistik dan kritis. Sementara perwujudannya seringkali bernada surealistik.
Teknik Dede, yang mengambil gubahan potretis, amat bagus. Karya-karya pelukis yang pernah belajar di STSRI ASRI Jogjakarta ini umumnya berformat besar. Dan masalah-masalah sosial yang disentuhnya biasanya menggetarkan, seperti kehidupan orang miskin kota, urbanisasi, kesederhanaan orang-orang desa bahkan juga problem-problem sepakbola.
Pelukis Widayat lewat pameran tunggalnya pada 1985 dan 1990 menunjukkan bahwa dia adalah salah satu pelukis terkuat di Indonesia setelah Affandi. Karya-karyanya memendam teknik tinggi, dengan pengungkapan yang dekoratif keprimitifan. Widayat adalah salah satu pelukis yang memiliki semangat berkarya yang konstan dan ketangguhan memegang serta mengembangkan gaya.
Reputasi Widayat ini juga ditunjukkan oleh beberapa pelukis lain yang melejit di kurun ini seperti Srihadi Sudarsono, Nyoman Gunarsa, A.D. Pirous dan Amang Rahman. Nama-nama pelukis generasi berikutnya juga patut dipuji karena konsistensi mereka dalam berkarya dan menggelar pameran, seperti Made Wianta, Agus Kamal, Hening Swasona, Nisan Kristiyanto, Hardi, Pande Gde Supada, A.S. Kurnia, Salim M, Kamso Kholiban, Syahnagra, Ipung Gozali, Sukamto DS, Made Djirna, Ikhlas Taufik (Tikes), Godod Sutejo, Ivan Sagito dan tentu saja Dede Eri Supria.
Setidaknya dua kegiatan digelar. Pertama, pameran di Gedung Karta Pustaka Jogjakarta berjudul Nusantara-Nusantara yang menampilkan karya-karya berbau sindiran dan karikatural. Pesertanya adalah Samikun, I Gusti Bagus Widjaja, Wardoyo S, Kristiyanto, Sudarisman, Suatmaji, Agustinus Sumargo dan Agus Dermawan T. Kedua, pameran Seni Rupa Baru pada Agustus 1975 di TIM Jakarta. Tak hanya pelukis yang muncul tetapi juga grafikus dan beberapa pematung. Mereka adalah Anyool Subroto, Bachtiar Zainoel, Pandu Sudewo, Nanik Mirna, Muryoto Hartoyo, Harsono, B. Munni Ardhie, Hardi, Ris Purwana, Siti Adiyati dan Jim Supangkat.
Gerakan Seni Rupa baru ini memang menafikan imaji seni lukis konvensional terkait elemen-elemen lukisan, elemen-elemen gambar dan sebagainya. Dengan lahirnya seni rupa baru, kebebasan cipta pada pelukis muda nampak lebih lepas. Elemen-elemen ruang, gerak dan waktu dianggap sah sebagai bentuk karya seni rupa. Dampak gerakan ini memang luar biasa. Dan gerakan ini bertahan hingga era 1980 dan 1990-an.
GERAKAN SENI RUPA BARU
Ramai pelukis muda mencari idea baru dalam menghasilkan seni rupa baru, termasuklah dalam mengeksplorasi efek multimedia. Selain itu, mereka turut melakukan seni persembahan, seni pemasangan dan seni video. Hal itu terlihat dalam karya pelukis muda Indonesia seperti Tulus Warsito, T Sutanto, Haryadi Suadi, Budi Sulistyo, Satyagraha, Nyoman Nuarta, Dede Eri Supria, Nyoman Gunarsa dan Aming Prayitno serta generasi sesudahnya seperti Heri Dono, Dadang Christanto, Tisna Sanjaya, Marida Nasution, Ivan Sagita, I Gusti Ayu Kadek Murniasih dan Agus Suwage.
Pada kurun ini, kemunculan Dede Eri Supria di penghujung 1970-an sangat memberikan harapan. Dede adalah salah seorang eksponen Seni Rupa baru yang paling serius, dan berjalan sebagai pelukis profesional. Karya-karyanya mengambil titik tolak bentuk realisme, namun ia mengocoknya dalam tema-tema yang sosialistik dan kritis. Sementara perwujudannya seringkali bernada surealistik.
Teknik Dede, yang mengambil gubahan potretis, amat bagus. Karya-karya pelukis yang pernah belajar di STSRI ASRI Jogjakarta ini umumnya berformat besar. Dan masalah-masalah sosial yang disentuhnya biasanya menggetarkan, seperti kehidupan orang miskin kota, urbanisasi, kesederhanaan orang-orang desa bahkan juga problem-problem sepakbola.
Pelukis Widayat lewat pameran tunggalnya pada 1985 dan 1990 menunjukkan bahwa dia adalah salah satu pelukis terkuat di Indonesia setelah Affandi. Karya-karyanya memendam teknik tinggi, dengan pengungkapan yang dekoratif keprimitifan. Widayat adalah salah satu pelukis yang memiliki semangat berkarya yang konstan dan ketangguhan memegang serta mengembangkan gaya.
Reputasi Widayat ini juga ditunjukkan oleh beberapa pelukis lain yang melejit di kurun ini seperti Srihadi Sudarsono, Nyoman Gunarsa, A.D. Pirous dan Amang Rahman. Nama-nama pelukis generasi berikutnya juga patut dipuji karena konsistensi mereka dalam berkarya dan menggelar pameran, seperti Made Wianta, Agus Kamal, Hening Swasona, Nisan Kristiyanto, Hardi, Pande Gde Supada, A.S. Kurnia, Salim M, Kamso Kholiban, Syahnagra, Ipung Gozali, Sukamto DS, Made Djirna, Ikhlas Taufik (Tikes), Godod Sutejo, Ivan Sagito dan tentu saja Dede Eri Supria.
Ivan Sagito, dengan teknik impasto yang bagus, menawarkan tema-tema surealistik yang kaya dengan fantasi. Obyek-obyeknya dia gali dari dunia kampung dan alam pedesaan di Yogyakarta. Sumur, wanita-wanita desa, rumah-rumah di kampung dia olah sedemikian rupa menjadikan unsur-unsur seni lukisnya yang aneh menyimpan greget keseraman.
Ivan mengejutkan dunia seni rupa Indonesia saat mulai berpameran di Singapura. Tak lama kemudian, dia menggelar pameran tunggal di Afrika Selatan tepatnya di The Pretoria Art Museum, Johannesburg, Afrika Selatan (2000) dan terakhir di Red Mill Gallery, Vermont Studio Centre, Amerika Serikat (2003). Lukisannya kini banyak diperdagangkan di galeri-galeri besar dunia. Konon karya pelukis yang kini tinggal di daerah Godean Yogyakarta ini, pada 2005 ada yang mencapai harga jual hingga Rp 1,3 milyar.
Kemapanan seni lukis Indonesia memang akhirnya porak-poranda akibat intervensi gagasan post-modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conseptual art): ”Instalation Art”, dan ”Performance Art”, yang pernah menjamur di berbagai pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam ”kolaborasi” sebagai mode 1996/1997.
Itulah dia yang disebut aliran progresif. Menampilkan seni lukis dalam berbagai ragam bentuk termasuk berkolaborasi dengan seni instalasi. Mereka juga sering tampil di berbagai galeri luar negeri. Nama-nama tersebut diantaranya adalah Heri Dono (kelahiran 1960), Dadang Christanto (kelahiran 1957), Tisna Sanjaya (kelahiran 1958), Marida Nasution (kelahiran 1956), I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966 – 2006) dan tentu saja yang paling akhir adalah Agus Suwage (kelahiran 1959).
Bersamaan itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi. Memasuki abad 21, seni lukis Indonesia terus berkembang dan muncul pula sejumlah profesi menjanjikan seperti art dealer yang menjadi penghubung antara pelukis dengan pihak gallery.
Yang menarik, ada kecenderungan bahwa aliran Mooi Indie tetap bertahan. Ini dibuktikan dari pameran pada 2007 lalu, saat lima pelukis muda yakni J.B. Iwan Sulistyo, P. Lanny Andriani, Idran Yusup, Sukriyal Sadin, dan Pardoli Fadli berpameran bersama di Boulevard Lounge-Hotel Nikko Jakarta, 9-15 April 2007. Mereka menampilkan sejumlah lukisan beraliran realisme-romantik. Akankah roda jaman berputar kembali ke awal setelah 100 tahun berlalu ? Kita lihat saja.
(Sumber utama tulisan ini adalah Buku dwi bahasa berjudul Perjalanan Seni Rupa Indonesia, dari Zaman prasejarah hingga Masa kini, yang diterbitkan Panitia Pameran KIAS 1990-1991).
Ivan mengejutkan dunia seni rupa Indonesia saat mulai berpameran di Singapura. Tak lama kemudian, dia menggelar pameran tunggal di Afrika Selatan tepatnya di The Pretoria Art Museum, Johannesburg, Afrika Selatan (2000) dan terakhir di Red Mill Gallery, Vermont Studio Centre, Amerika Serikat (2003). Lukisannya kini banyak diperdagangkan di galeri-galeri besar dunia. Konon karya pelukis yang kini tinggal di daerah Godean Yogyakarta ini, pada 2005 ada yang mencapai harga jual hingga Rp 1,3 milyar.
Kemapanan seni lukis Indonesia memang akhirnya porak-poranda akibat intervensi gagasan post-modernisme yang membuahkan seni alternatif, dengan munculnya seni konsep (conseptual art): ”Instalation Art”, dan ”Performance Art”, yang pernah menjamur di berbagai pelosok kampus perguruan tinggi seni sekitar 1993-1996. Kemudian muncul berbagai alternatif semacam ”kolaborasi” sebagai mode 1996/1997.
Itulah dia yang disebut aliran progresif. Menampilkan seni lukis dalam berbagai ragam bentuk termasuk berkolaborasi dengan seni instalasi. Mereka juga sering tampil di berbagai galeri luar negeri. Nama-nama tersebut diantaranya adalah Heri Dono (kelahiran 1960), Dadang Christanto (kelahiran 1957), Tisna Sanjaya (kelahiran 1958), Marida Nasution (kelahiran 1956), I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966 – 2006) dan tentu saja yang paling akhir adalah Agus Suwage (kelahiran 1959).
Bersamaan itu pula seni lukis konvensional dengan berbagai gaya menghiasi galeri-galeri, yang bukan lagi sebagai bentuk apresiasi terhadap masyarakat, tetapi merupakan bisnis alternatif investasi. Memasuki abad 21, seni lukis Indonesia terus berkembang dan muncul pula sejumlah profesi menjanjikan seperti art dealer yang menjadi penghubung antara pelukis dengan pihak gallery.
Yang menarik, ada kecenderungan bahwa aliran Mooi Indie tetap bertahan. Ini dibuktikan dari pameran pada 2007 lalu, saat lima pelukis muda yakni J.B. Iwan Sulistyo, P. Lanny Andriani, Idran Yusup, Sukriyal Sadin, dan Pardoli Fadli berpameran bersama di Boulevard Lounge-Hotel Nikko Jakarta, 9-15 April 2007. Mereka menampilkan sejumlah lukisan beraliran realisme-romantik. Akankah roda jaman berputar kembali ke awal setelah 100 tahun berlalu ? Kita lihat saja.
(Sumber utama tulisan ini adalah Buku dwi bahasa berjudul Perjalanan Seni Rupa Indonesia, dari Zaman prasejarah hingga Masa kini, yang diterbitkan Panitia Pameran KIAS 1990-1991).
Selamat Pagi & Salam Kenal,
BalasHapusBarangkali butuh, atau ada kenalannya yg membutuhkan.. Saya menjual beberapa koleksi lukisan milik ayah saya. Foto-fotonya dapat dilihat di http://jakarta-art-collection.blogspot.com.
Terimakasih atas perhatiannya.
Salam,
Bofandra Muhammad (Bofan)
bofandra@gmail.com / 0856-9169-0022